Terkait Mengusap Jabirah

Jika jabirah lebih besar dari yang dibutuhkan, apa yang harus dilakukan?
Beberapa hukum terkait jabirah
Ada kalanya seseorang mendapatkan musibah berupa luka di tangannya. Dalam rangka pengobatan, dokter mengharuskan pemakaian perban di tangan tersebut. Ketika dia hendak berwudu untuk salat, apakah dia harus melepas perbannya karena di antara syarat sah wudu adalah tidak adanya penghalang sampainya air ke kulit, atau dia boleh mengusapnya sebagaimana diperbolehkannya mengusap khuf?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tuntas, berikut ini beberapa poin pembahasan tentang mengusap jabirah (gips, perban, atau semisalnya) ketika bersuci. Sebelumnya, perlu diketahui bahwa pembahasan ini erat kaitannya dengan permasalahan mengusap khuf. Bahkan, beberapa ulama menggabungkan pembahasan mengusap khuf dan jabirah dalam satu bab saja. Oleh karena itu, silakan membaca artikel kami tentang mengusap khuf terlebih dahulu di sini, sehingga bisa memahami permasalahan ini dengan lebih mudah.
Definisi mengusap jabirah
"Mengusap jabirah", yang biasa diistilahkan ( المسح على الجبيرة – mengusap di atas jabirah) tersusun dari dua kata utama, yaitu al-mashu ( المَسْح ) dan al-jabirah ( الجبيرة ).
Tentang al-mashu ( المَسْح ), Al-Jurjaniy rahimahullah mengatakan,
المَسْح هو إمرارُ اليدِ المبتلَّةِ بلا تسييلٍ
donasi muslim.or.id
"Mengusap adalah melewatkan tangan yang basah tanpa pengaliran (air)." [1]
Sedangkan tentang al-jabirah ( الجبيرة ), disebutkan dalam kitab At-Ta'rifat Al-Fiqhiyyah,
الجَبيرة هي التي تُربط على الجرح وهي العيدان التي تجبر بِها العظامُ جمعها الجبائر
"Jabirah (secara bahasa) adalah tongkat-tongkat (kayu) yang diikatkan pada luka untuk memperbaiki tulang. Bentuk jamaknya adalah jabā'ir." [2]
Dalam istilah fikih, penggunaan kata-kata tersebut tidak keluar dari makna bahasa.
Namun, mazhab Maliki menjelaskan jabirah dengan makna yang lebih luas, yaitu "apa saja yang digunakan untuk merawat luka, baik itu tongkat, plester, atau lainnya." [3]
Tidak ada perbedaan antara penggunaan jabirah pada patah tulang atau luka. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,
(فصل) ولا فَرْقَ بينَ كَوْنِ الشَّدِّ على كَسْرٍ أو جُرْحٍ، قال أحمدُ: إذا تَوَضَّأَ، وخَافَ على جُرْحِهِ الماءَ، مَسَحَ على الخِرْقَةِ….. وكذلك إنْ وَضَعَ على جُرْحِهِ دَوَاءً، وخَافَ مِنْ نَزْعِه، مَسَحَ عليه.
"(Pasal) Tidak ada perbedaan antara (jabirah) yang digunakan pada patah tulang atau luka. Imam Ahmad mengatakan, 'Jika ia berwudu dan takut air akan merusak lukanya, ia boleh mengusap di atas kain…' Demikian juga, jika ia memberikan obat pada lukanya dan takut merusaknya dengan melepaskannya, ia boleh mengusap di atasnya.'" [4]
Oleh karena itu, dapat kita katakan bahwa jabirah dalam konteks mengusap adalah mencakup apa saja yang dibuat dari tongkat (kayu), gips, perban, atau lainnya, baik pada patah tulang maupun luka. Wallahu a'lam.
Hukum mengusap jabirah
Bolehnya mengusap jabirah dalam wudu, mandi, atau tayamum, merupakan perkara yang disepakati oleh empat mazhab fikih: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. [5]
Di antara dalilnya adalah [6]:
Pertama: Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, dia berkata,
انكسرت إحدى زندي، فأمرني النبيُّ ﷺ أن أمسح على الجبائر
"Salah satu tulang bawahku patah, maka saya bertanya kepada Nabi ﷺ, dan beliau memerintahkan saya untuk mengusap jabirah." [7]
Kedua: Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu 'anhu bahwa seorang pria terkena batu yang melukai kepalanya, kemudian ia mengalami mimpi basah. Lalu, ia bertanya kepada sahabat-sahabatnya, apakah ia mendapat keringanan untuk bertayamum. Mereka berkata, "Kami tidak menemukan keringanan untukmu, sedangkan kamu mampu menggunakan air." Maka, ia mandi dan meninggal. Maka, Nabi ﷺ bersabda,
قتلوه قتلهم الله. ألا سألوا إذا لم يعلموا فإنما شفاء العي السؤال إنما كان يكفيه أن يتيمم ويعصب
"Mereka membunuhnya. Semoga Allah membunuh mereka. Kenapa mereka tidak bertanya ketika mereka tidak mengetahui? Karena sesungguhnya obat dari ketidaktahuan adalah bertanya. Cukup baginya untuk bertayamum dan mengikat (lukanya)." [8]
Ketiga: Di antara dalil yang lain, dan ini merupakan yang paling kuat, yaitu kebutuhan mengharuskan untuk mengusap di atas jabirah. Karena melepasnya akan menyebabkan kesulitan dan menimbulkan bahaya. [9]
Syarat-syarat mengusap jabirah
Syarat diperbolehkannya mengusap jabirah adalah sebagai berikut [10]:
Pertama: Khawatir terjadi bahaya dengan melepasnya.
Kedua: Membasuh anggota tubuh yang sehat, tidak menyebabkan bahaya pada anggota yang cedera/sakit. Jika membasuhnya menyebabkan bahaya, maka pendapat yang benar adalah mengusap anggota tubuh yang sehat tersebut. (Lihat pembahasan tentang "cara mengusap jabirah" di bawah.)