Larangan Berdebat
Status Hadist
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Tirmizi dengan sanad yang lemah karena diriwayatkan dari jalan Laits bin Abu Sulaim di mana dia adalah perawi yang lemah, sebagaimana didaifkan oleh para Imam ahli hadis, seperti Imam Ahmad dan selainnya. Tetapi Al-Hafizh Ibnu Hajarberharapdalam kitabnyaBulughul Maram, tidak mempersyaratkan hadis-hadis yang dibawakan di dalam kitabnya tersebut adalah hadis-hadis yang sahih saja. Hanya saja jika ada hadis yang daif, beliau akan menjelaskan bahwasanya hadis tersebut adalah hadis yang lemah, sebagaimana hadis ini.
Namun para ulama menjelaskan bahwa hadis ini meskipun secara sanad dinilai hadis yang lemah akan tetapi maknanya benar dan juga didukung oleh hadis-hadis yang lain. Banyak hadis-hadis yang menjadisyawahid(hadis lain yang maknanya mirip sehingga menjadi penguat) bagi hadis ini. Contohnya seperti hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim secaramarfu'(sanadnya sampai kepada Rasulullah), Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الأَلَدُّ الخَصِمُ
"Orang yang paling dibenci oleh Allahﷻadalah orang yang suka berdebat (paling lihai dalam berdebat)."([2])
Hadis ini menguatkan makna dari hadis Ibnu Abbas tadi. Demikian juga larangan-larangan menyelisihi janji yang merupakan sifat orang-orang munafik dan hadis-hadis lainnya yang berkaitan dengan pembahasan ini.Oleh karena itu, hadis ini meskipun secara sanad adalah daif namun maknanya benar.
Makna Hadist
Pada hadis ini ada tiga adab yang harus diperhatikan, yaitu:
Larangan mendebat saudara muslim
Berdebat yang dilarang di sini adalah berdebat yang tujuannya bukan untuk mencapai kebenaran, tetapi berdebat untuk mencari kemenangan semata atau berdebat untuk mencari kebenaran tanpa menjaga adab-adabnya. Demikian pula berdebat untuk menampakkan kesalahan lawan debat kita atau untuk menunjukkan kehebatan kita, sehingga terlihat lebih spesial karena bisa mengalahkan lawan kita.
Bentuk-bentuk perdebatan semacam ini dilarang oleh Rasulullah ﷺ karena hanya akan menimbulkan kejengkelan dan permusuhan. Adapun perdebatan dalam rangka mencari kebenaran, berdebat dengan menempuh adab perdebatan yang baik, menghormati pendapat lawan debat, saling mendengarkan argumen, maka hal ini tidak jadi masalah. Karena bahkan kepada Ahli Kitab pun kita boleh berdebat dengan syarat harus dibangun di atas cara-cara yang baik. Allah berfirman,
وَلا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
"Janganlah kalian mendebat ahlul kitab kecuali dengan cara yang baik."(QS Al-'Ankabut: 46)
Jika berdebat dengan Ahli Kitab yang notabene mereka bukanlah saudara kita, kita diperintah mendebatnya dengan cara yang terbaik, apalagi berdebat dengan saudara kita sesama muslim tentu selaiknya lebih memperhatikan dan menjaga adab-adab debat.
Perhatikanlah orang yang suka berdebat (dalam rangka untuk memenangkan dirinya), kebanyakannya tidak disukai oleh orang-orang karena isi pembicaraannya hanya debat dan debat. Apabila kita bertemu dengan orang seperti ini hendaknya kita tinggalkan orang tersebut. Kemudian apabila kita berdialog dengan saudara kita dengan niat untuk mencapai kebenaran tetapi saudara kita tersebut hanya ingin memenangkan dirinya maka hendaknya kita meninggalkan debat tersebut. Hendaknya kita mengingat hadis Rasulullah ﷺ,
أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا
"Aku menjamin istana di tepian surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan meskipun dia di atas kebenaran." ([3])
Bentuk lainnya adalah perdebatan yang mencari kebenaran tapi tanpa adab. Misalnya dia memakai kata-kata kotor, menggunakan kata-kata cacian, mengangkat tinggi suaranya, dan menunjukkan kemarahan. Hendaknya kita meninggalkan pula perdebatan tersebut, karena apabila keadaannya telah diliputi amarah, maka setan mulai ikut campur. Tinggalkanlah, meskipun yang akan memenangkan perdebatan tersebut adalah kita tetapi setelah perdebatan selesai yang tersisa hanyalah kebencian, dendam, benih-benih permusuhan di antara kaum muslimin.