Indonesia Tertinggi Pengangguran di ASEAN, Bukti Kegagalan Regulasi Ketenagakerjaan

Oleh: Awiet Usman
datanews.id - Jumat, 09 Agustus 2024 06:17 WIB
Indonesia Tertinggi Pengangguran di ASEAN, Bukti Kegagalan Regulasi Ketenagakerjaan

datanews.id - Dana Moneter Internasional (IMF) pada World Economic Outlook April 2024, menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara yang tertinggi tingkat penganggurannya di lingkungan negara Asia Tenggara (ASEAN), yaitu sebesar 5,2%. Lalu Filipina 5,1%, Brunei Darussalam 4,9%, Malaysia 3,52%, Vietnam 2,1%, Singapura 1,9% dan Thailand 1,1%. Infografis.okezone.com, (21/7).[1]

Pada Agustus 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) mendata dengan mengutip informasi dari laman Satu Data Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), bahwa di Indonesia ada 108.464 orang lulusan diploma dan 452.713 orang lulusan S1, S2, dan S3 dengan rentang usia 15 - 24 tahun yang teridentifikasi sebagai orang-orang yang sedang tidak bekerja, bersekolah, atau mendapat pelatihan. Not in Employment, Education, and Training (NEET). Kompas.com, (20/5).[2]

Padahal secara konteks pendidikan, mereka termasuk sumber daya manusia (SDM) yang memiliki skill, kompetensi dan kecerdasan intelektual untuk dapat berkompetisi dan diserap didunia kerja. Sebab biasanya, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka peluangnya untuk melamar pekerjaan di suatu lapangan usaha semakin besar. Namun faktanya, masih banyak lulusan sarjana kita yang menjadi jobless intelektual. Apakah hal ini ada relevansinya dengan kualifikasi, kualitas dan kompetensi tenaga kerja kita? Mungkin quote ini bisa menjawabnya:

"Ijazah itu hanya tanda seseorang pernah sekolah, bukan tanda dia pernah berpikir." (Rocky Gerung)

Yang jelas secara realitas, tingginya jumlah pengangguran menjadi bukti kegagalan regulasi ketenagakerjaan di negara ini. Jumlah lapangan kerja yang tersedia ternyata tidak mampu mengimbangi banyaknya jumlah tenaga kerja yang setiap tahunnya semakin meningkat. Hal ini juga mengindikasikan bahwa terjadi proses penyerapan tenaga kerja yang jumlahnya sangat tidak signifikan, maksimal dan kompatibel.

Pemerintah saat ini sepertinya terlalu fokus dan memprioritaskan investasi sektor padat modal daripada sektor padat karya dan juga terkesan tidak siap dalam memanajemen pasar tenaga kerja. Regulasi ketenagakerjaan melalui undang-undang (UU) Cipta Kerja yang secara substansi memberikan kemudahan mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) justru merugikan para pekerja. Padahal sejatinya UU yang dibuat seharusnya merupakan refleksi proteksi negara terhadap rakyat untuk mendapatkan jaminan pekerjaan yang layak secara finansial bukan malah menguntungkan para pemilik modal kapitalis. Padahal Indonesia memiliki bonus demografi yang seharusnya menjadi keuntungan ekonomi bagi negara karena banyaknya jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun). Namun jika tidak dipersiapkan dengan baik, dikhawatirkan hanya akan menjadi bumerang bagi Indonesia sendiri nantinya.

Sistem kapitalisme yang diimplementasikan negara saat ini telah membuat suatu kemasan regulasi dan legitimasi hukum yang malah memfasilitasi dan memudahkan masuknya tenaga kerja asing (TKA), khususnya dari China ke Indonesia. Beberapa kebijakan itu seperti:

1. Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2016, tentang Bebas Visa Kunjungan bagi warga negara dari 169 negara, kemlu.go.id.[3] Kebijakan ini mengakibatkan terjadinya peningkatan pelanggaran keimigrasian dan masuknya migran Tionghoa dalam jumlah besar ke Indonesia.

2. Dalam rangka investasi, program percepatan pembangunan yang memungkinkan bagi para investor asing melakukan investasi di Indonesia plus tenaga kerjanya (dari level manajer sampai level pekerja). Fakta ini jelas mempersempit peluang pekerjaan bagi para pekerja dalam negeri yang dipaksa harus menjadikan para TKA itu sebagai kompetitor.

Ironis memang, saat warga negaranya tidak ingin menjadi pengangguran di negaranya sendiri karena kesempatan kerja yang terbatas, lalu memutuskan untuk pergi berjuang mencari pekerjaan yang lebih baik ke luar negeri dengan menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang sekarang berubah nama menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI), negara malah membuat kebijakan yang tidak bijak dengan membuka pintu masuk yang seluas-luasnya bagi para TKA China ini untuk merebut sumber pendapatan bagi warga negaranya sendiri.

Bahkan seorang teman yang mantan PMI pernah merespon kebijakan ini dengan mengatakan: "Pemerintah terlalu banyak alasan untuk menjadikan kami para pekerja ini menjadi penting sebagai prioritasnya. Padahal dulu waktu kami jadi PMI, kami merasa didiskriminasi di negara orang karena kami pendatang, pekerja asing. Dimana terjadi perbedaan di beberapa hal seperti misalnya saat basic salary naik setiap tahunnya bagi para pekerja lokal tetapi untuk kami tidak. Namun di satu sisi kami mengerti, begitulah cara negara di tempat kami bekerja itu memproteksi dan mengayomi warga negaranya dalam hal pendapatan finansial yang layak. Namun sekarang di sini, di negara kami sendiri, tempat dimana kami lahir dan dibesarkan atas nama warga negara Indonesia, kami malah didiskriminasi dan dizalimi oleh pemerintah kami sendiri. Kenyataan ini sungguh sangat-sangat menyakiti dan melukai hati kami."

"Jika itu penting bagi Anda, Anda akan menemukan jalan. Jika tidak, Anda akan menemukan alasan." (Ryan Blair)

Persepsi sistem ekonomi Islam mengenai bekerja


Bekerja merupakan suatu kewajiban hukum syara' dan dilihat sebagai bentuk manifestasi ibadah bagi orang yang melakukannya sehingga pengangguran apapun bentuknya dipandang sebagai perbuatan tercela dalam sistem ekonomi Islam.

Adapun kemaslahatan-kemaslahatan yang didapatkan dari aktivitas bekerja, antara lain:

1. Bekerja membuat kebutuhan hidup tercukupi
2. Bekerja memberi manfaat dan value kepada sesama manusia, dan menjadi siklus rezeki
3. Bekerja akan meneguhkan harkat, martabat, dan fitrah manusia di hadapan Allah
4. Bekerja akan meningkatkan kesejahteraan hidup (hayyatan thayyibah)
5. Bekerja merupakan aktivitas yang menjadi support system yang krusial bagi perekonomian

Islam telah mengatur hubungan simbiosis mutualisme diantara majikan dan pekerja yang saling bersinergi serta memandang tenaga kerja itu sebagai manusia yang harus dimanusiakan, bukan manusia yang hanya diperas keringatnya saja. Bahkan soal pembayaran upah pun diingatkan "Berikanlah upahnya kepada seorang pekerja sebelum keringatnya kering". (HR Ibnu Majah, No.937)

Seluruh sumber-sumber kekayaan alam dikuasai oleh negara, diolah, dikelola dan dieksploitasi dengan asas keadilan dan untuk kesejahteraan rakyat. Bahkan tidak ada ruang untuk segelintir golongan atau oligarki kekuasaan memonopoli sumber kekayaan alam tersebut.

Dalam Islam, negara berperan aktif dan bertanggung jawab penuh dalam memfasilitasi pemenuhan hajat hidup seluruh rakyatnya yang di nilai dalam porsi perindividu, bukan secara kolektif.

Oleh karenanya negara memiliki peranan penting untuk memastikan bahwa seluruh rakyat dapat memiliki kesempatan dan peluang yang sama untuk memiliki pendapatan yang layak secara finansial dengan menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup untuk setiap orang, bukan hanya segelintir orang.

Atensi dan proteksi negara terhadap mekanisme implementasinya diatur dengan regulasi ketenagakerjaan yang bersandarkan pada hukum syariat Islam dan bukan semata disandarkan pada logika berpikir manusia apalagi sistem kapitalisme barat yang hanya memprioritaskan golongan borjuis daripada golongan proletariat (pekerja).

"Tidak akan ada 'kebebasan' yang nyata dan efektif dalam masyarakat yang hanya didasarkan pada kekuatan uang (Kapitalisme), dimana proletariat hidup dalam kemiskinan dan borjuis hidup seperti parasit." (Anonim). ***

Footnote:

[1] https://infografis.okezone.com/detail/783171/pengangguran-indonesia-tertinggi-di-asean

[2] https://www.kompas.com/edu/read/2024/05/20/191056771/data-bps-sebanyak-452713-lulusan-s1-s2-dan-s3-tidak-bekerja

[3] https://kemlu.go.id/dakar/id/pages/daftar_negara_penerima_bebas_visa_kunjungan/2555

SHARE:
Tags
Berita Terkait
Komentar
Berita Terbaru