Hukum Uang Pensiuan

Oleh Ustadz Sufyan bin Fuad Baswedan,MA
Rio Agusri - Jumat, 26 Juli 2024 05:00 WIB
Hukum Uang Pensiuan
Ilustrasi (Foto int)
datanews.id -Untuk menjawab masalah yang cukup penting ini, kita perlu memiliki gambaran yang jelas tentang apa itu pensiun ? Apakah hakikat dari uang pensiunan ? Bagaimana seseorang bisa mendapatkannya ? Dan bagaimana sebenarnya pengelolaan uang pensiun tadi ?

Untuk itu, berikut ini penulis kutipkan beberapa hal dari brosur resmi yang diedarkan oleh Biro Dana Pensiun[1] dan dari sumber-sumber terkait lainnya sebagaimana berikut ini.

Ketika kita pada usia produktif dan bekerja, kita memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bagi yang bekerja pada sebuah pemberi kerja (perusahaan, lembaga pendidikan, dan lain-lain) umumnya menerima penghasilan secara rutin setiap bulan. Ketika kita mencapai usia pensiun, sebagian dari kita masih menerima penghasilan seraca rutin dari pemberi kerja, yaitu berupa uang pensiun. Adapun Program Pensiun adalah suatu program yang mengupayakan tersedianya uang pensiun (atau disebut juga manfaat pensiun) bagi pesertanya.

Definisi dana pensiun menurut UU No. 11/ 1992: Dana pensiun merupakan badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun bagi pesertanya.

Sejak diberlakukan Undang-undang No. 11 Tahun 1992, di Indonesia hanya ada dua lembaga yang dapat menyelenggarakan program dana pensiun, yaitu Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) dan Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK).

DPPK adalah sebuah lembaga yang dibuat oleh sebuah perusahaan guna mengelola dana pensiun para pekerjanya. Oleh karena itu, peserta DPPK hanya terbatas pada mereka yang terikat hubungan kerja dengan perusahaan yang membuat DPPK atau biasa disebut tertutup. Pengurus dari DPPK bukan pendiri, melainkan orang atau badan yang ditunjuk dan mendapatkan pengesahan Menteri untuk menjalankan dan mengelola dana pensiun. Sedang DPLK merupakan sebuah badan yang bisa didirikan oleh dua lembaga, yaitu Bank Umum dan Perusahan Asuransi Jiwa.

DPLK memiliki fungsi yang lebih luas dibanding dengan DPPK, yakni seluruh masyakarat, baik perorangan maupun kelompok dapat menjadi peserta dana pensiun. Berdasarkan Undang-undang No. 11 Tahun 1992, terdapat tiga unsur yang terlibat dalam program pensiun melalui DPLK.

Pertama, Peserta, yang menyetorkan iuran dan menikmati pensiun.
Kedua, DPLK, yang menyelenggarakan program pensiun.
Ketiga, Perusahaan Asuransi Jiwa, yang menyediakan fasilitas anuitas[2] sebagai manfaat pensiun yang diberikan secara berkala kepada peserta.
Dari keterangan di atas, bisa kita simpulkan bahwa pensiun adalah keadaan saat seseorang tidak lagi aktif bekerja sebagai pegawai atau karyawan di suatu perusahaan. Pun begitu, tidak hanya karyawan atau pegawai yang bisa mendapatkan uang pensiunan, namun semua orang bisa mendapatkannya dengan syarat-syarat tertentu. Bagaimana? Yaitu dengan mengikuti program dana pensiun. Bila ia seorang pegawai/karyawan, maka ia punya dua pilihan, yaitu mengikuti DPPK atau mengikuti DPLK. Sedangkan bila ia bukan pegawai/karyawan, maka hanya ada satu cara untuk mendapatkan dana pensiun, yaitu mengikuti DPLK.

Adapun program pensiun yang tersedia di Indonesia –sejauh penelitian kami- hanya ada dua.

Bagi yang mengikuti DPPK, biasanya dana pensiun dipotongkan dari gaji bulanan. Lalu dikelola oleh lembaga tertentu. Yang menjadi masalah ialah cara pengelolaan dana tersebut ? Apakah diinvestasikan untuk proyek-proyek halal, atau untuk proyek yang tidak jelas, atau justru untuk yang haram, seperti didepositokan di bank dan diserahkan kembali beserta bunganya (baca: riba) ?

Bila tidak ada kejelasan dalam hal ini, maka si karyawan/pegawai hanya berhak mendapatkan tak lebih dari total potongan gajinya selama ia bekerja di perusahaan tersebut. Adapun selebihnya adalah harta yang tidak jelas statusnya. Misalnya: A bekerja di perusahaan B selama 25 tahun, dengan gaji perbulan Rp 1,5 juta, dipotong Rp 100 ribu sebagai dana pensiun. Dengan begitu, selama 25 tahun -jika tidak ada perubahan- maka A telah membayar dana pensiun sebesar Rp 30 juta. Jadi, ia hanya berhak menerima dana pensiun total tidak lebih dari Rp. 30 juta, baik diberikan secara berangsur maupun sekaligus.

Alasannya, potongan gaji yang selama ini ia berikan kepada pengelola dan pension -yg tidak jelas cara pengelolaannya- identik dengan meminjamkan uang kepada si pengelola (qardh). Uang pensiunan yang dikembalikan ke si pegawai statusnya adalah badal (pengganti) yang senilai dari potongan gaji yang dahulu ia bayarkan, dan bukan benda yang sama. Ia tidak sama dengan wadi'ah (menitipkan barang tertentu) yang kemudian barang itu dikembalikan lagi dan tidak diganti dengan barang lain yang sejenis. Oleh karena itu, berlakulah hukum qardh dalam uang pensiunan yang asalnya dari potongan gaji ini.

SHARE:
Tags
Berita Terkait
Komentar
Berita Terbaru